SUARA GARUT— Seperti yang diketahui sebelumnya, musibah kebakaran melanda Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr. Slamet Kabupaten Garut, Jawa Barat, Minggu (1/10/2023) siang sekitar pukul 12.00 WIB.
Beberapa ruangan penting yang masuk rumah sakit kelas B ini pun turut dilalap si jago merah, di antaranya ruangan logistik dan ruangan pencucian darah. Lalu, seperti apa sejarah dan profil RSUD dr. Slamet Garut ini? Berikut ulasannya.
RSUD dr. Slamet berada di Jalan RSU dr. Slamet No. 12 Kelurahan Sukakarya, Kecamatan Tarogong Kidul, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Luas tanah rumah sakit ini mencapai 38.000 meter persegi dengan yang diduduki bangunan seluas 20.746 meter persegi.
Kabupaten Garut sendiri hingga tahun 1917 belum memiliki rumah sakit umum. Saat itu hanya ada Stadpolitie atau klinik darurat yang berada di Jalan Cimanuk (dulu Tjimanoek Rivier Weig)— sekarang menjadi Asrama Tentara.
Baca Juga:Blangkar dan Kursi Roda di RSUD dr. Slamet Garut Raib, Wabup Mengaku Prihatin
Dokter Mulder dan dr. Stiohtor merupakan penggagas klinik tersebut. Lokasi tempat praktik mereka di Jalan Sociestraat tepatnya Gedung Padang Bulan (sekarang Bank BJB Jalan Ahmad Yani).
Pada 1921, Gubernur Jenderal Dirk Fock dan Sekretaris Jenderal G. R. Erdfrink sebagai delegasi Ratu Kerajaan Belanda, Sri Ratu Wilhelmina mengeluarkan dan menetapkan besluit atau sejenis (surat) keputusan No. 10279 21 Juli 1921.
Pasca keputusan itu keluar, pembangunan di berbagai sektor di wilayan Priangan mulai ditingkatkan. Pun dengan Garut— infrastruktur seperti jaringan jalan, jembatan, kanal air, penerangan jalan, rumah sakit, pasar, taman-taman, dan lapangan perlahan dibangun.
Jembatan di atas Sungai Cimanuk juga dibangun— yang hingga saat ini menghubungkan kawasan Maktal dengan jalan menuju daerah Patrol. Rumah Sakit Umum atau Algemen Zieken Huis dibangun di dekat jembatan tersebut.
Rumah sakit tersebut dapat dikatakan sudah mumpuni untuk merawat orang-orang yang sakit. Beberapa sungai yang meliputi Sungai Cimanuk, Sungai Cipeujeuh, dan Sungai Cikamiri posisinya tepat mengelilingi rumah sakit umum itu.
Baca Juga:Dampak Kebakaran, Bupati Garut: RSUD dr Slamet Ditutup Sementara
Selain itu, terdapat sebuah lapangan bernama “Lapangan Paris” atau De Paris Plein yang berada di depan rumah sakit. Lapangan Paris sendiri dipisahkan oleh Jalan Rumah Sakit (Zieken Huis Straat) yang ditumbuhi pepohonan Ki Hujan atau De Regen Boom yang sangat rimbun.
Adapun rumah sakit tersebut diresmikan langsung oleh Jenderal Dirk Fock yang saat itu menjabat gubernur periode 1921-1926 pada 1922. Peresmian rumah sakit itu juga turut disaksikan Bupati Garut periode 1915-1929, R. A. A. Soeria Karta Legawa
Pada 11 Mei 1930, Soeria terkena penyakit pes saat menjalankan tugasnya hingga akhirnya ia meninggal dunia pada Senin, 2 Desember 1929. Jabatan Bupati Garut pun digantikan oleh Wedana atau Kepala Distrik (sekarang camat) Cipeujeuh Tumenggung Moehammad Moesa Soeria Karta Legawa.
Namun, baru sekitar 4 bulan memimpin sekitar akhir Maret 1930, muncul wabah penyakit pes di yang diakibatkan bakteri pes di wilayah Garut. Wabah itu banyak memakan korban jiwa. Penyakit itu juga tentunya menjangkiti ribuan warga desa.
Penyebab utama wabah itu tak lain karena banyaknya jumlah sarang tikus di rumah-rumah warga perkampungan. Konstruksi bangunan rumah-rumah warga itu terbuat dari anyaman bambu yang menjadi dinding, lantai dan atap dari ijuk.
Bahan-bahan dasar bangunan itu menjadi tempat yang disukai tikus untuk membuat sarang. Pemerintah Hindia Belanda pun saat itu menyatakan Garut Darurat Bencana Nasional karena besarnya (dampak) wabah yang terjadi.
Mulai dari sinilah, nama dr. Slamet diabadikan menjadi nama rumah sakit. dr. Slamet sendiri merupakan salah satu dokter yang turut berjuang melawan wabah pes di Garut saat itu.
Selain ditunjuk sebagai Kepala Rumah Sakit Umum, dokter bernama lengkap Slamet Atmosoediro itu juga ditugaskan Pemerintah Hindia Belanda sebagai Ketua Tim Pemberantas Wabah Pes di Garut.
Menteri Kesehatan, Mas Iyas pun turut bergabung dalam tim itu pun tak lama meninggal dunia karena terjangkit penyakit pes. Semenjak itu, Pemerintah Hindia Belanda menerbitkan regulasi pendirian bangunan (woning).
Pendirian bangunan tersebut pun harus seizin Mantri Bangunan atau Ahli Bangunan. Beberapa syarat di antaranya meliputi dinding bangunan harus terbuat minimal separuh tembok dan bambu.
Lantai pun harus dibangun minimal setinggi lutut orang dewasa dari permukaan tanah atau menerapkan struktur panggung. Lantai juga wajib berbahan atau memakai papan.
Begitu pun dengan atap yang semula dari ijuk harus diubah menjadi genteng yang diperoleh dari pabriknya langsung di Kampung Lio. Pembangunan rumah sakit itupun dibantu pembiayaannya oleh Pemerintah Hindia Belanda.
Bagi mereka (masyarakat) yang berencana merenovasi rumahnya, biaya perbaikannya bisa dibantu dari pinjaman bank dengan catatan syarat-syarat (bangunan) sesuai yang ditentukan ahli bangunan.
Pasca meninggalnya dr. Slamet pada 1935, jabatan Kepala Rumah Sakit Garut digantikan dr. H. R. Parjono Soerio Dipoero dari 1935-1945. dr. Parjono merupakan dokter pindahan dari Rumah Sakit Tasikmalaya.
Sebagai bentuk apresiasi terhadap dr. Slamet atas jasa-jasanya, nama dr. Slamet diabadikan menjadi nama Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr. Slamet Garut.
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 51/ Men. Kes/ SK/ II/ 79 Tahun 1979, dr. Slamet Atmosoediro resmi ditetapkan sebagai nama RSUD “dr. Slamet” Kabupaten Garut hingga saat ini. (*)
Quoted From Many Source